TANGERANG, HaluanNews.co.id – Peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2025 terasa getir di tengah bayang-bayang pelemahan ekonomi global dan domestik, serta ancaman nyata gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor industri.
Semangat solidaritas dan perjuangan hak-hak pekerja yang biasanya mewarnai perayaan ini kini bercampur dengan kecemasan mendalam atas masa depan ketenagakerjaan dan kesejahteraan buruh. Hari Buruh 2025 seharusnya tidak lagi sekadar menjadi agenda seremonial tahunan, melainkan momen refleksi kritis dan pemicu aksi nyata dalam memperkuat perlindungan bagi pekerja.
Dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan, Hari Buruh merupakan pengingat akan pentingnya hak-hak pekerja yang diakui secara universal dan telah dijamin dalam regulasi nasional. Undang-Undang Ketenagakerjaan dan peraturan turunannya secara tegas menjamin hak atas pekerjaan yang layak, upah yang adil, jaminan sosial, serta prosedur yang wajib dipatuhi dalam pelaksanaan PHK.
Namun, badai ekonomi global yang memicu penurunan permintaan pasar, kebijakan perdagangan yang tidak menguntungkan, serta efisiensi korporasi yang berujung pada PHK, menuntut penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Ancaman PHK bukan sekadar data statistik, tetapi telah menjadi kenyataan pahit yang mengancam pendapatan, pekerjaan, dan kualitas hidup jutaan pekerja serta keluarga mereka.
Dalam konteks ini, kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan hukum PHK termasuk pembayaran pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan kompensasi lainnya harus menjadi prioritas. Pemerintah melalui pengawas ketenagakerjaan memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap proses PHK berjalan sesuai hukum, tanpa pelanggaran hak pekerja.
Lebih lanjut, tuntutan serikat pekerja seperti penghapusan praktik outsourcing yang eksploitatif, penetapan upah layak yang sesuai kebutuhan riil, pembentukan Satgas PHK sebagai respons cepat terhadap potensi krisis ketenagakerjaan, serta revisi UU Ketenagakerjaan dan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) bukan lagi sekadar aspirasi, tetapi kebutuhan mendesak untuk menciptakan perlindungan menyeluruh bagi pekerja.
Relevansi hukum dari kedua regulasi tersebut sangat penting. Revisi UU Ketenagakerjaan diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan dinamika pasar kerja yang terus berkembang dan memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat. Sementara itu, RUU PPRT hadir untuk mengatasi kerentanan pekerja rumah tangga, memberikan kepastian hukum dan jaminan perlindungan yang selama ini terabaikan.
Hari Buruh 2025 menjadi momen penting untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan kepastian hukum bagi pekerja. Perlindungan hak-hak pekerja tidak boleh dikorbankan demi efisiensi jangka pendek. Sebaliknya, kesejahteraan pekerja harus menjadi fondasi utama dalam membangun ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Pemerintah memiliki peran sentral dalam membangun harmoni antara kedua aspek tersebut melalui penegakan hukum yang konsisten, kebijakan ekonomi yang berorientasi pada penciptaan lapangan kerja layak, serta membangun dialog sosial yang inklusif bersama serikat pekerja dan pelaku usaha.
Penutup, tantangan ekonomi yang menyelimuti peringatan Hari Buruh 2025 menegaskan perlunya pendekatan yang adil dan berpihak pada pekerja. Dengan komitmen terhadap perlindungan hak-hak buruh, penegakan hukum yang efektif, dan kebijakan ekonomi yang inklusif, Indonesia dapat menghadapi krisis ini dengan tetap menjunjung tinggi martabat dan kesejahteraan pekerja sebagai aset bangsa yang tak ternilai.
Penulis: Rhomi Ramdani, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang