TANGERANG, HaluanNews.co.id – Pemerintah telah meresmikan program pembentukan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih pada 12 Juli 2025 yang akan datang.

Dimulai 20 Maret 2025 lalu, berbagai desa telah melaksanakan musyawarah desa khusus (musdesus) untuk pembentukan pengurus koperasi dan pengawas koperasi dengan kepala desa sebagai Ex-officio Ketua Pengawas Koperasi Desa Merah Putih.

Target pembentukan koperasi desa merah putih ini 80.000 di seluruh desa di Indonesia dalam waktu kurang dari lima tahun. Angka ini nyaris menyamai jumlah desa yang tercatat dalam data Potensi Desa (Podes) 2024, yaitu sebanyak 75.753 desa.

Langkah ini mencerminkan ambisi besar pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi desa, memotong rantai kemiskinan, serta memperluas akses masyarakat terhadap layanan keuangan yang sehat dan legal.

Namun, di balik ambisi tersebut, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: Apakah ekosistem pendukung di tingkat desa sudah siap?

*Mimpi Besar Membutuhkan Fondasi Kuat*

Koperasi bukan sekadar soal membangun gedung atau menyuntikkan dana. Esensi koperasi adalah tata kelola, partisipasi anggota, dan keberlanjutan usaha. Hal-hal ini membutuhkan waktu, kapasitas, dan ekosistem yang belum tentu merata di semua desa.

Misalnya, tidak semua desa memiliki sumber daya manusia dengan pemahaman manajerial dan finansial yang memadai untuk mengelola koperasi. Belum lagi tantangan klasik seperti minimnya literasi keuangan, budaya gotong royong yang mulai memudar, hingga rendahnya adopsi teknologi digital di sebagian wilayah pedesaan.

*Risiko Over-ekspansi Tanpa Infrastruktur Pendukung*

Setiap Koperasi desa merah putih ditargetkan menerima dana sekitar 3 miliar hingga Rp 5 miliar. Ini menimbulkan dua risiko utama.

Pertama, risiko fiskal dan kredit. Tanpa regulasi yang kuat dan pengawasan ketat, suntikan dana yang besar justru berpotensi memunculkan koperasi abal-abal atau malah menciptakan beban kredit macet pada perbankan Himbara.

Kedua, Risiko kegagalan program massal. Jika pendirian koperasi dipaksakan tanpa kesiapan SDM, struktur organisasi, dan ekosistem bisnis yang matang, maka bukan lagi mustahil ribuan koperasi ini akan mati suri dalam beberapa tahun.
Pemerintah juga perlu menekankan

Pendidikan keuangan masyarakat sebagai prasyarat, bukan pelengkap. Banyak program pemberdayaan gagal karena masyarakat belum siap mengelola kepercayaan finansial.

*Bukan Sekadar Proyek, Tapi Transformasi Sosial*

Koperasi desa Merah Putih bukan proyek ekonomi biasa. Ia menyentuh ranah sosial, budaya, dan bahkan ideologi bangsa. sebagaimana dulu dicita-citakan Bung Hatta, Namun untuk menjadikannya alat transformasi yang nyata, pendekatan harus realistis, berbasis data, dan mengutamakan kualitas daripada kecepatan.

Masyarakat desa memang butuh koperasi. Tapi lebih dari itu, mereka butuh koperasi yang dikelola secara benar, diawasi dengan ketat, dan tumbuh bersama dengan kesadaran kolektif. (Red)