TANGERANG, HaluanNews.co.id – Research Public Policy And Human Rights (RIGHTS) mengutuk keras segala bentuk intimidasi terhadap jurnalis, yang dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan kebebasan pers.

Pernyataan ini disampaikan oleh juru bicara RIGHTS, Itsma Imdadul Mukhsinin, menyusul insiden pengiriman kepala babi ke kantor redaksi Tempo.

“Kami mengutuk segala bentuk intimidasi terhadap kerja-kerja jurnalistik. Ini bukan hanya serangan terhadap individu jurnalis, tetapi juga ancaman terhadap kebebasan pers serta hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar,” ujar Itsma dalam pernyataan resminya.

Menurutnya, kebebasan pers merupakan pilar utama demokrasi yang sehat, sehingga setiap upaya membungkam media melalui teror harus diusut secara tuntas. RIGHTS pun mendesak aparat kepolisian untuk segera mengungkap pelaku dan motif di balik kejadian ini serta memastikan perlindungan bagi para jurnalis.

Kasus intimidasi terhadap jurnalis di Indonesia bukanlah hal baru. RIGHTS mencatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir, ancaman terhadap jurnalis semakin meningkat, baik dalam bentuk kekerasan fisik, ancaman digital, hingga serangan hukum yang bertujuan membungkam kritik.

Fenomena ini mengingatkan pada pola yang terjadi di masa Orde Baru, di mana kebebasan pers dikontrol ketat oleh negara. Meskipun saat ini pers lebih bebas, tekanan dalam bentuk ancaman hukum, serangan digital, serta intimidasi terhadap jurnalis masih terus terjadi.

“Kontrol terhadap media menjadi salah satu bentuk pembungkaman yang masih berlangsung. Pada masa Orde Baru, pers dikekang melalui sistem perizinan yang ketat, dan media yang dianggap terlalu kritis bisa dicabut izinnya,” kata Itsma.

Ia juga menyoroti bahwa militerisme dan intimidasi menjadi ciri khas lain dari gaya Orde Baru. Dalam sejarah Indonesia, militer kerap digunakan untuk meredam gerakan protes dan kritik terhadap pemerintah.

“Saat ini, meskipun reformasi telah membatasi peran militer dalam politik, masih ada indikasi penggunaan aparat untuk mengintimidasi aktivis, akademisi, dan jurnalis,” ujarnya.

Meskipun gaya represif pemerintah Orde Baru telah berakhir sejak reformasi, praktik serupa masih terjadi dalam bentuk pemidanaan aktivis serta penggunaan hukum yang tidak berimbang.

Selain itu, kultus individu dan propaganda menjadi strategi yang digunakan untuk membangun citra kepemimpinan yang tak tergantikan. Pada era Orde Baru, propaganda masif disebarkan melalui berbagai media untuk membentuk opini publik.

“Kini, dengan perkembangan media sosial, pola serupa muncul dalam bentuk narasi yang dibangun oleh buzzer atau kelompok tertentu untuk menyerang kritik dan mempengaruhi opini publik,” jelasnya.

RIGHTS menilai bahwa praktik-praktik ini mencerminkan kemunduran demokrasi di Indonesia. Jika pembungkaman terhadap jurnalis terus dibiarkan, kebebasan berekspresi dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang jujur akan semakin terancam.

“Kami meminta negara untuk hadir dan menegakkan hukum. Jika praktik intimidasi seperti ini terus dibiarkan, maka jurnalisme yang bebas dan independen akan semakin tergerus,” tutup Itsma. (Red)